Bank Perkreditan Rakyat (BPR) memiliki peran strategis dalam mendukung inklusi keuangan, terutama di daerah pedesaan. Namun, operasionalnya yang melibatkan dana masyarakat menuntut penerapan tata kelola yang baik (Good Corporate Governance atau GCG). Sejalan dengan perkembangan sektor keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkenalkan peraturan terbaru untuk memperkuat tata kelola pada BPR melalui POJK Nomor 4/POJK.03/2023 tentang Tata Kelola bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Berikut adalah poin-poin utama yang menjadi sorotan dalam tata kelola BPR berdasarkan POJK terbaru:
1. Prinsip Dasar Tata Kelola yang Baik
POJK ini menegaskan penerapan lima prinsip dasar tata kelola:
- Transparansi: BPR harus menyediakan informasi yang jelas, akurat, dan dapat diakses oleh pemangku kepentingan.
- Akuntabilitas: Setiap organ perusahaan memiliki tugas dan tanggung jawab yang jelas.
- Responsibilitas: Pelaksanaan kegiatan bank harus mematuhi peraturan dan prinsip kehatihatian.
- Independensi: Operasional bank harus bebas dari pengaruh pihak lain yang tidak sesuai dengan peraturan.
- Keadilan: Setiap pemangku kepentingan mendapat perlakuan yang setara dan adil.
2. Struktur Tata Kelola
Untuk memastikan pengelolaan yang efektif, BPR diwajibkan memiliki struktur tata kelola yang mencakup:
A. Direksi
- Direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan operasional bank, termasuk penerapan manajemen risiko dan kepatuhan.
- Setiap anggota direksi harus memiliki kompetensi, integritas, dan memenuhi kriteria fit and proper test OJK.
B. Dewan Komisaris
- Dewan Komisaris bertugas mengawasi kinerja direksi dan memberikan saran.
- Harus ada keseimbangan jumlah antara komisaris independen dan non-independen, sesuai skala dan kompleksitas bank.
C. Komite-Komite Pendukung
POJK mengharuskan pembentukan komite seperti Komite Audit dan Komite Pemantau Risiko untuk membantu pengawasan.
3. Pengelolaan Risiko dan Kepatuhan
POJK terbaru menggarisbawahi pentingnya pengelolaan risiko dan fungsi kepatuhan:
- Manajemen Risiko: BPR harus memiliki kerangka kerja manajemen risiko yang disesuaikan dengan kompleksitas bisnis.
- Kepatuhan: Harus ada pejabat yang bertanggung jawab atas kepatuhan terhadap peraturan internal maupun eksternal.
4. Laporan dan Transparansi
POJK ini memperkuat kewajiban BPR untuk melaporkan:
- Laporan Pelaksanaan Tata Kelola: Disampaikan secara berkala kepada OJK.
- Laporan Keuangan: Harus mematuhi standar akuntansi keuangan yang berlaku dan diaudit oleh auditor independen.
5. Penanganan Benturan Kepentingan
POJK ini juga mengatur bahwa setiap transaksi yang mengandung potensi benturan kepentingan harus diidentifikasi, dilaporkan, dan diselesaikan dengan prinsip keadilan.
6. Peningkatan Kompetensi SDM
Peningkatan kualitas sumber daya manusia, baik di level manajemen maupun operasional, menjadi fokus dalam tata kelola ini. BPR diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan sertifikasi bagi para pegawainya untuk memenuhi standar industri.
7. Sanksi atas Ketidakpatuhan
POJK terbaru memberikan sanksi tegas bagi BPR yang tidak mematuhi peraturan, mulai dari teguran tertulis, pembekuan kegiatan usaha tertentu, hingga pencabutan izin usaha.
Penutup
Penerapan tata kelola yang baik adalah kunci keberlanjutan dan kepercayaan publik terhadap BPR. Dengan mengacu pada POJK terbaru, BPR diharapkan mampu memperkuat fondasi bisnisnya, meningkatkan efisiensi, dan memitigasi risiko. Keberhasilan tata kelola ini tidak hanya memastikan kepatuhan regulasi, tetapi juga mendukung kontribusi BPR terhadap perekonomian daerah.
Bagi BPR, POJK ini bukan sekadar kewajiban, tetapi juga peluang untuk memperbaiki praktik bisnis dan meningkatkan daya saing. Semakin baik tata kelola, semakin besar peluang BPR untuk tumbuh dan berkembang dalam ekosistem keuangan yang dinamis.
No comments:
Post a Comment